Senin, 26 Maret 2018


2.

Aku mengingatmu lebih dalam saat pagi datang, saat dingin berusaha meninggalkan terganti oleh hangat mentari. Aku menginginkanmu sedalam itu, sepasrah dahan yang ditinggalkan embun. Saat aku tak punya alasan untuk tak beranjak dari mimpi, bangun dan menerima kenyataan kamu tidak dalam pelukan.

Jika suatu pagi aku tidak disampingmu jangan ragu, aku ada. dalam tiap langkah dan hela napas kamu kutemani. Dalam segala penerimaan dan penolakanmu, aku tetap disitu. Pada setiap luka dan keras kepalamu, kamu kusayangi.


Kamis, 22 Maret 2018

Menuliskan, kamu.

Beri aku selembar kertas, akan kutuliskan bagaimana kamu dimataku, bagaimana bibirku mengisahkan kamu dan sisa-sisa meriah dalam kepala.

1.

Jika ini pagi, maka kamu akan berubah petang. Mengisi dingin ke tulang, menyesakkan. Jika ini malam, kamu akan semakin kelam. Meredam jerit dengan tatapan. Tanpa laku, tanpa rima, namun bermakna.

Ada yang paling ku suka, tapi bukan. Bukan seperti yang kamu kira. Bukan saat kamu tersenyum sambil menggenggam tanganku, atau saat mata kita beradu. Seringkali, aku tersipu. Dan merasa tertipu.

Bagian favoritku itu sederhana. Saat kamu jujur. Saat dihadapanku hanya ada laki-laki dengan ego dan amarah. Saat tak segan nada tinggi kamu ucapkan, saat satu-satunya yang terdengar hanya sumpah serapah dan napas yang memburu. Saat hanya ada kamu menahan gelisah dan diamku. Aku suka momen itu, jadilah jujur didepanku serupa apapun kamu.  


Rabu, 15 November 2017

Perjalanan kereta

Aku suka perjalanan kereta, setiap stasiun pemberhentiannya, setiap penumpang yang mustahil akan sama. Rasa haru saat tiba ke tempat tujuan, atau kadang debar menanti suatu kedatangan. Aku suka perjalanan kereta, dengan orang asing mana yang kadang duduk di sebelah. Ada hari di mana aku enggan berkata, ada pula hari aku suka bicara. Tapi seringnya ku kunci rapat bibir ini sambil menatap kosong ke jendela. Kosong. Sekosong gelas-gelas kertas bekas kopi atau teh di depanku. Sekosong hari yang terlewat begitu saja. Kadang kala dalam tiap perjalanan kereta aku suka merenung. Tentang apa saja. Hal-hal yang mestinya dibicarakan agar tegak lurus tanpa kelok, nyatanya berakhir diam dalam kepala. Nyatanya, tidak ada tempat untuk membaginya atau lawan untuk bicara. Hal-hal yang harusnya secara dewasa dilontarkan tanpa celah, nyatanya satu sisi merasa diam adalah jawaban terbaik tanpa meminta atau diminta penjelasan. Satu bagian dari ego mengharap semuanya sesuai mau diri, tapi hidup tidak begitu.

5 menit untuk pemberhentian stasiun pusat, sekitar 2-3 menit untuk stasiun kecil tanpa penumpang. Jendela di dalam kereta mungkin sengaja di desain berbingkai besar, agar penumpangnya bisa melihat keluar. Bahwa ada banyak hal yang bisa dilihat jika saja mau, tidak terpaku akan yang ada dihapanmu. Kadang mataku menatap nanar keluar jendela dengan pikiran melayang, membayangkan senyum yang tidak lagi bisa kulihat atau kepura-puraan yang selalu ditunjukkan. Lelah memang, tapi mau dikata apa? Beberapa hal baiknya cukup di mengerti tanpa tanda tanya, tanpa hal yang dirisaukan atau hal yang kelewat dikuatirkan. Beberapa hal harus dibiarkan mengalir seperti sisa tetesan air hujan di jendela kereta. Ada, tanpa tiada.

Sebelum sampai di titik ini aku pernah merasakan yang lebih berat. Pernah dihantam tatapan tajam atau ucapan tak enak di dengar-yang sepertinya tidak akan pernah hilang. Pernah juga aku sibuk merapikan pecahan kaca yang entah siapa melakukannya dengan tanganku sendiri hanya untuk dapat melangkah. Lain kisah aku mengubur asa dan suara agar sekitar ini menjadi hening. Sebelum sampai di tempat ini, aku sudah pernah.

Kamis, 12 Oktober 2017

Lara.

Bagaimana sudah sempat membayangkan rasanya jadi aku?
Sempat terlintas? Begini, saranku tidak usahlah.

Jangan dibayangkan rasanya memiliki kepala sekeras milikku, atau jangan lah ingin memahami kacaunya hati dan hari yang dijalani.

Dia akan baik-baik saja, selalu. Setelah apa yang terlewati begitulah kiranya mantra yang terucap setiap saat dadanya sesak. Itulah kiranya yang dibayangkan bahwa hujan akan reda meninggalkan tanah basah diluar rumah.

Esok hari dia akan sama, memijarkan lagi nyala api di kepalanya agar meriah atau lain waktu akan menjadi sejuk bagi seorang yang duduk disebelahnya kala terik. Dia akan sama.

Menghidupkan lentera pada malam yang tidak pernah menginginkannya namanya.

Rabu, 13 September 2017

Teh panas, Kopi hitam dan Angkringan.

Mereka bilang saat mulai dewasa akan mengubah segalanya. Entah sikap, sudut pandang, cara menanggapi suatu masalah termasuk lingkaran sosial. Dan saat sedang sendiri atau tidak dalam menjalani aktivitas apapun hal-hal diatas memang terpikirkan. Tapi, saat bertemu teman atau orang untuk membahas sesuatu segala yang diatas rasanya biasa saja, masih sama tidak ada yang berubah. Malam ini pun sama, bertemu salah satu teman hanya karena sebuah status yang lewat menunjukkan kondisiku sedang “nganggur” dia mengajak bertemu di angkringan. Tempat favorit kami, untuk bicara. Tidak ada yang spesial dari pertemuan kami pun tidak ada yang berubah selama 3jam kami bersama. Dia masih sama, salah satu teman yang menyenangkan. Tapi satu hal yang akhirnya aku sadari bahwa, jalan hidupnya tak lagi sama. Tujuan ataupun aktivitasnya berubah. Banyak hal terlewat entah karena ego yang pernah ada diantara kami atau memang luput karena waktu.
“gimana hdupmu nud?”
“baik.”
“haha. Kamu ngga pernah benar-benar baik dengan menjawab baik.”
Aku hanya senyum. Sebagai persetujuan atas pernyataannya. 
Aku malas menjelaskan apapun atau bagaimana aku berhasil melewati banyak hal. Tetap diam, meski orang datang dan pergi sesukanya tidak seperti aku; beberapa tahun belakangan yang “agak berlebihan”. Aku paham, bahwa memang begini kiranya hidup. Tidak memaksa atau menuntut, tapi cukup dijalani.
Teman didepanku ini bercerita banyak soal hobinya, rencana kuliahnya, skripsinya, tentang pilihannya sendiri dan tidak dekat dengan perempuan manapun, atau tentang lagu  yang baru-baru ini muncul dari band indie favorit kami. Hal-hal yan sebenarnya sepele tapi sengaja kami ceritakan agar tidak ada yang hilang, atau terlupakan.
Teh tawar didepanku makin dingin, kopinya pun hampir habis seiring dengan malam semakin dingin. Sebentar lagi kami akan berpamitan entah kapan akan bertemu lagi. “skala proritas orang berbeda” demikian dia menjelaskan. Satu hal yang pasti kapanpun nanti kita bertemu lagi rasanya akan sama, karena begitulah aku dan mungkin dia berusaha menjaganya. Hal-hal sederhana yang berarti banyak. Baginya menemuiku sesekali adalah keharusan karena aku dan lingkarannya tak lagi bisa bersama, sementara bagiku dia sama seperti angkringan; salah satu bagian menyenangkan di tempat ini.

Sabtu, 09 September 2017

Berpartnerlah dengan Orang yang Tepat.

Sebagai yang tidak ingin keluar dari zona nyaman, memilih partner untuk bekerja bersama memang tidak akan jauh dari orang dalam jangkauan. Meski pepatah mengatakan “Great things doesn’t come from comfort zone” tapi kurasa tidak untukku, atau belum. Jadilah untuk satu urusan paling penting dalam perkuliahan aku memilih untuk berpartner dengan teman sendiri. Teman yang sudah kukenal dan tahu sejak diawal tahun kuliah. Teman yang sudah kuhafal nama dan nomor induk mahasiswanya. Untuk apa? Untuk kewarasanku. Kurasa.

Aku adalah jenis orang yang tergolong complicated dalam segala sisi. Dan tentu akan jadi masalah jika bersama dengan orang yang tidak biasa kuhadapi. Sementara dengannya, aku terbiasa. Lonjakan emosi atau perubahan sikap makin lama makin kupahami. Dia, laki-laki yang satu diantara beberapa kuputuskan untuk menjadi teman baik. Mengapa? Karena dia mendengar. Rasa-rasanya wajar toh perempuan memang suka didengar. Dan dia kupercayai. Dalam segala hal, maka dari itu aku memilih berpartner dengannya untuk sebuah skripsi.

Dengan segala drama yang ada, dan terlewati entah sebagian atau hanya beberapa sejauh ini dia masih yang terbaik yang pernah ada. Aku percaya, partner yang baik akan mengubahmu menjadi yang lebih baik seiring waktu. Dan dia melakukannya. Dia mengajari banyak hal, dengan caranya. Untuk sabar, tenang, menjadi dewasa dan kuat tentu saja. Dia membuatku mengerti bahwa memang beberapa hal tidak harus seperti yang kuharapkan, sesempurna rancanganku atau sebaik sebuah tulisan. Tidak. Dia membuatku memahami bahwa hidup kadang memang harus menerima dan menunggu.

Banyak teman-teman lain yang berkelompok demi menyelesaikan skripsi mereka, dan mungkin masalah yang mereka hadapi lebih kompleks. Tapi hal terberat yang harus kami hadapi adalah, dia laki-laki dan aku perempuan. Dengan dua kepala yang kadang tidak bisa sepaham, sudut pandang yang berseberangan, dan kadang aku terlewat demanding terhadapnya. Kadang, aku mengharapnya mengerti apa yang aku pikirkan tanpa bicara. Padahal semuanya akan selesai dengan dibicarakan atau dibiarkan saja. Harusnya aku tidak membawanya ikut, agar kami tidak berselisih paham. Tetaplah, jadi teman dan partner yang baik. 

Selasa, 05 September 2017

Waktu.

Apa yang paling berharga? Waktu. Tidak bisa disangkal. Bagi siapa saja untuk apa saja. Waktu mengajari bagi setiap orang yang menunggu pelajaran paling berharga, untuk sabar dan mengertinya. Sementara untuk orang yang sedang melakukan sesuatu waktu adalah hal yang bisa dihargai dengan menikmati tiap menit yang ada. Sejalan dengan sebuah donat yang hampir habis. Hanya satu donat yang akan dihabiskan dua kepala. Waktu yang tidak bisa diulang dan hanya bisa dikenang. Langkah, senyum dan kata-kata yang telah terucap. Semua akan tersimpan dalam kepala, dan sebentar lagi semua ini akan berakhir. Seiring gigitan terakhir donat didepanku. Waktuku habis.