Selasa, 28 Juni 2016

Lelaki; yang ingin kutulis.

Sebentar, aku bingung jika ini soal kamu bagaimana aku harus memulai.. darimana cerita tentang kamu harus kubuat. Aku ingin menulis soal kamu. Itu saja. Sederhana.
Tentang kamu yang... seperti itu. Kamu; kamu yang berbicara dengan tingkah, kamu yang tibatiba datang lalu entah. Entah ada atau tidak. Aku ragu. Ah kamu abu-abu.

Jika subjeknya kamu, kalimatku berhenti disana menggantung sia-sia.
Tak ada yang bisa kulakukan selain berpikir dan membiarkanmu makin dalam terkubur dalam ingatan. Dan bisaku hanya mengenang.
Iya. Mengenangmu, tentang bagaimana kamu bicara, melangkah bahkan gerak tanganmu yang kadang tidak terbaca

Tapi sungguh tulisan ini soal kamu, ada kamu dan suaramu yang menggema mengisi ruang kepala saat aku merangkai kata. Ada kamu dan tawa renyah yang membuatku ingin berada tak jauh barang sedetik saja.

Monolog.

Mungkin bagimu, aku bukan apa dan siapa. Hanya seorang dari luar lingkaran bisanya tepuk tangan jika takjub dan mengelus dada saat melihat kamu jatuh. Buku yang tertimbun dipaling dasar tanpa pernah kamu sentuh, episode dalam serial yang sengaja kamu skip dan gelas yang kamu pecahkan subuh tadi. Maka itu, bisamu hanya meminta maaf. Karena kesalahan.

Senin, 27 Juni 2016

Bait terakhir sebelum epilog.

Jika diminta memilih mau jadi seperti apa ceritaku dalam buku. Mungkin aku ingin menjadi  bentuk cerita apa saja yang bukunya menjadi favoritmu. Yang akan kamu baca setiap waktu meski tahu jelas alur didalamnya bahkan mungkin hafal titik koma kalimat seru yang ada.

Atau aku menjadi prolog yang membuatmu tertarik membaca, tertarik untuk tahu dan merasa, tertarik untuk memahami isi didalamnya.

Atau juga ku mau jadi halaman akhir sebelum epilog saja, halaman yang berisi keputusan dan titik dalam cerita. Agar kamu mengingatnya jelas tanpa sela. Agar akan ada kalimat manis untuk senyummu saat membaca.

Tapi nyatanya aku kamu letakkan dibagian paling akhir, dekat dengan isi data dirimu. Dalam epilog yang kadang tidak berhubungan dengan alur cerita. Kamu membiarkanku terlewat, tapi tidak benar-benar jauh dari semua hal tentangmu.

Aku ingin menjadi manis seperti akhir cerita bahagia bukan sesuatu yang menggantung tanpa arah. 

Rabu, 22 Juni 2016

Untuk, Atika Hanoum Rahasta.

Mungkin ini pertama kalinya aku menulis sesuatu buat kamu. Iya. Mau kutulis aja kalo ngomong aku kaku, tulisan ini nggak manis dan sedikit haru. Tapi ini yang benar-benar ingin aku tulis buat kamu.

Pertama, selamat menambah angka satu, terserah berapapun jadinya angkamu biar aja sekedar angka urusan jiwa cuma kamu yang tau, apalagi dewasa. Kamu yang akan memilih bukan terpaku oleh angka yang menambah setiap tahunnya.

Kedua, terimakasih. Untuk telah datang dan diam. Nggak ding, Atika tidak pernah benar-benar diam kamu adalah salah satu yang datang mau menyalahkan dengan pembenaran. Dan aku selalu percaya satu hal bahwa kamu tidak akan pergi entah bagaimanapun nantinya, semoga saja apa yang kupercayai begitua adanya.

Ketiga, tetaplah jadi Atika. Atika yang seperti Atika, biar aja ucapan diluar sana soal kamu toh dari awal rumor selalu ada tepat dibelakang namamu. Siapa yang nggak ngomongin kamu? Iyakan? Jadi biar aja. Mereka yang menjatuhkan adalah alasan kamu harus berdiri, mereka yang menyanjung adalah jawaban atas usahamu. Tidak ada yang sia-sia. Kamu baik, sangat amat baik dengan caramu. Sudah, itu cukup.

Keempat, berbahagialah. Ini klise memang tapi bener Tik, berbahagialah. Berbahagialah sampai aku nih yang jauh dari kamu ngerasa ikut seneng, sampai nggak ada yang kamu takuti. Sampai bahkan bahagiamu itu kebawa mimpi dan mungkin bikin nggak bisa tidur. Berbahagialah, dan berhenti terluka. Entah untuk alasan apapun dan siapapun. Kamu yang selalu ngajarin aku kuat, selalu disana buat setidaknya negur kalo aku mulai goyah. Jadi tetaplah seperti itu meski akan semakin susah.

Kelima, jangan berubah. Apapun yang telah terjadi semuanya dimataku kamu masih Atika yang sama, dan itu nggak akan aku rubah. Tetap aja jadi Atika yang suka nelpon dijam-jam nggak masuk akal, yang bisa cerita sedih jadi seneng terus marah balik ke awal lagi. Aku masih akan terus nungguin telepon-telepon atau cerita-cerita mu itu, drama-drama yang udah entah kalo difilmkan episodenya nyampe ke seri berapa. Maaf kalo kadang aku nggak bisa jadi yang bisa nyenengin kamu, tapi aku disini Tik nggak pernah kemana-mana nggak usah juga kamu nyari beneran deh aku nggak pernah jauh. Jangan bosan ya sama drama ribet hidup soal aku.

Keenam, Atika. Makasih ya, buat semuanya aku nggak tau harus bilang apa buat semua yang udah kamu lakuin sadar atau nggak sadar buat semua muanya yang bahkan aku nggak tau lagi harus ditulis gimana. Jangan pernah jatuh meski kamu dijatuhkan orang seribu, jangan jadi lupa bahwa ada orang-orang dibelakangmu yang nunggu, jangan jadi angkuh meski kamu nyampe kelangit tujuh. Untuk apapun tetap aja jadi dirimu.


Ketujuh, aku sayang kamu. Sayang dalam artian yang itu, iya. Pingin aku meluk kamu, atau datang bawa kue dan lilin atau bunga atau coklat kesukaanmu atau nyalain kembang api atau apapun itu yang kamu minta sekiranya aku bisa ngasih untuk merayakan hari ini. Hari bahagiamu, tapi aku cuma bisa disini berdoa yang terbaik sebaik-baiknya doa yang kamu minta. Aku nggak bisa nulis yang manis-manis isinya ya gini semua yang mau kuucapin ke kamu, kamu pernah terluka, kecewa atau mungkin hilang arah. Tapi kamu sanggup ngelewatin semuanya, dan berdiri disana jadi bukti bahwa aku pun mungkin bisa. Jadi, izinkan aku belajar banyak dari kamu. 

Minggu, 19 Juni 2016

Teh manismu

Hari itu dengan kopi di tangan kiri karena entah tangan kananmu sibuk mengerjakan apa, kamu muncul didepanku. Tepat, arah pukul 2. Di tengah ruangan dengan beberapa orang disekitarmu kamu duduk bicara tertawa sesekali menghisap rokok yang diam di asbak depanmu. Oh, ya dia perokok. Hanya itu yang kutahu, dan satu lagi kebiasannya membetulkan rambut yang memanjang sampai pelipis. Kenapa tidak kamu pangkas saja, anak muda?
Banyak waktu terlewat dan kamu masih disana, bedanya dengan seiring waktu sudah ada aku disana menjadi bagian cerita. Menjadi entah apa dalam hidupmu pun hidupku. Anggap saja berteman, banyak malam terlewat dengan pembicaraan panjang soal hidup dan banyak hal entah berapa kali kamu terbatuk karena tersedak rokokmu sendiri atau gelas-gelas kopi yang bertambah. Semua mengalir apa adanya, jujur. Sederhana. Sampai aku sendiri merusaknya.

Sebelum semua serumit ini, masih ingatkah pembicaraan terakhir aku dan kamu? Soal teh manis. Menurutmu, perempuan itu seperti teh manis, kapan saja dimana saja akan sama. Bisa hangat bisa dingin tetap manis. Tetap menyenangkan, sederhana dan apa adanya. Entah itu teman makan atau teman ngobrol rasanya sama. Aku bukan bagian dari teh manismu, iyakan? Persis katamu.

Sekarang setelah semuanya, setelah kesalahan yang pernah terjadi hari itu aku paham semua tidak akan pernah sama. Semuanya. Bahkan aku tahu gesturemu yang enggan. Sampai-sampai aku tahu yang nggak pernah kamu ucap. Mungkin baiknya, malam itu aku biarkan saja balon itu lepas lalu terbang. Seperti katamu, kehilangan itu pasti waktunya saja yang beda. Dan aku masih naif, soal kehilangan. Tahu apa yang paling sakit dari semua ini? Kehilangan teman bicara. Ya, aku tak peduli soal semua perubahan sikap dan tingkahmu tapi yang ku tahu tak ada lagi rak untuk buku atau dongengku. Entah sudah patah atau rusak. Ternyata, aku bukan lagi bagian dari ceritamu ada terselip pun mungkin tidak. 

Aku memang tidak pernah akan bisa jadi teh manismu, entah itu pagi  atau sore. Bukan juga kopi yang menemani malam-malam panjangmu, tidak keduanya. Atau aku harus jadi Bir? yang jujur tidak perlu gula atau susu. Yang tahu semua buruk dan baik, ingin dan tidak ingin ceritamu terdengar, ajaibnya mimpi yang pernah kamu ucapkan. Mungkin begitu saja baiknya, cukup aku dan kamu yang mengerti soal semuanya. Biar saja, pertanyanku soal kamu kusimpan rapat, anggap saja jawaban itu sudah kamu jelaskan dan aku mengerti. Biar saja, aku tetap jadi buku yang tidak akan pernah kamu baca meski kamu yang menulisnya. Sejak awal, aku memang tidak pernah ada. Teh manismu itu, ah entahlah.


Selasa, 07 Juni 2016

Biar saja,

Maka aku akan mecintai dengan tak mengharap untuk dicinta atau mengharap benar-benar mencinta
Biar saja, aku mengatasnamakan sedang mencinta agar mereka berhenti bertanya 
Agar mereka mengabaikan rambutku yang tak lagi sama atau langkahku yang kian meraba
Maka aku akan tetap mencintai tanpa mengharap apa-apa
Biar saja, mereka akhirnya tahu bahwa semua hanya tipu daya
Biar saja,
Maka kuputuskan untuk mencintai dengan segala rendah agar aku tak inginkan harap meninggi tuk dapat bersama
Karena kamu dan aku; tak perlu bersama
Aku suka, dengan adanya kamu dan aku; begini adanya
Karena aku ingin mencinta tanpa harus kamu balas mencinta
Mencintai dengan isi kepala
Karena tlah lama rasa di dalam dada memakan dusta
Maka biar saja, aku mengarang cerita didalam sana.


nvd