Minggu, 15 November 2015

Yang seharusnya kamu mengerti ialah perempuan ini tidak pernah baik-baik saja,  setelah kepergianmu.

Rabu, 04 November 2015

Yang datang lagi, luka.

Aku mendengar sebuah kabar di kala senja sebelum malam
1 menit, 2 menit, 3 menit...
Kepalaku meriah buncah bahagia bergabung dengan riuh angin
Kabar yang pernah lama kunanti kini datang lagi
Kuharap itu cinta; yang sering disebut orang diluar sana
Yang sedang diramaikan dalam bait tulisan dewasa yang pernah kurasa meski dalam jeda
Dia datang. Cepat tanpa aba atau sapaan salam
Berbungkus rapi warna jingga namun senyumku berubah masam
Ternyata, yang datang lagi sebuah luka.
Benarkah untukku? 
Mengapa datang lagi?
Apa tidak bosan denganku?
Percuma yang kamu bawa tak cukup meruntuhkanku, sungguh.
Berhentilah mendatangiku luka biarkan jalanmu menujuku digantikan cinta,

Senin, 02 November 2015

Hai, kamu.

Kepada kamu, apa yang sedang mengganggu?
sini duduk denganku, ada kopi untukmu.
Apakah kamu, masih menyesap kopi dengan takaran 2:1 tanpa susu?  
  Bolehkah, aku duduk sebagai teman menyesap kopimu.
Aku tidak suka melihatmu sendiri biarkan ada yang mengisi malam dengan pembicaraan diantaramu, 

tidak hanya pahit kopi yang kamu ulang tiap waktu.
Apa yang kamu cari didasar kopi itu, pembenaraan masa lalu? 

atau angan semu yang mengisi mimpimu?
Ah, aku suka melihat kopi di tangan kananmu, selalu. 

Maukah membaginya denganku? barangkali ada sepotong hati baru untukmu.


Bisa jadi, aku.



Rabu, 28 Oktober 2015

Suatu hari,

Suatu hari, dia datang duduk dikursi kosong sebelahku. Kita sama-sama mengantri untuk sebuah tiket kereta api. Dia bertanya tujuanku, untuk basa-basi. Aku menjawab pun untuk basa-basi.
Aku? berbasa-basi?

Suatu hari, dia duduk disebelahku melihat menimbang dengan matanya tentang apa yang kulakukan.
lalu dia membolak-balikkan kertas berserakan disebelahku. alisnya bertaut dahinya berkerut seolah berpikir. kuhentikan tanganku menulis dan tersenyum kearahnya lalu mengambil kertas itu.
"kamu nggak akan ngerti isinya, mau bantuin? mending rapihin deh."
"apa bedanya metode pembuatan emulsi oil in water sama water in oil dua-duanya kan air sama minyak. aneh." dia tidak benar-benar menanyakannya lebih kepada bertanya untuk dan oleh dirinya sendiri.
Diraihnya kertas-kertas itu, ditumpuk menjadi satu meski aku tahu benar urutannya akan salah. Dia tak akan mengerti. Lalu dia mulai menggangguku lagi, dengan mengubah bantal didekatku, mengganti playlist-ku, melepas ikat rambutku. Saat ku toleh, dia akan nyengir. Wajah anak-anak favoritku yang selalu muncul saat aku memarahinya. Selalu. 

Suatu hari, saat kami sedang berjalan di supermarket dia tiba-tiba menghentikan langkah.
"Nad, kurusan yah? ih kok badannya aja yang diubah sekali-kali tingginya dong dinaikin dikit biar keliatan anak kuliahan, hahaha!" 
Suatu hari, aku sibuk menunggu nasi goreng didepanku dingin. Dia hanya melihat sejenak, lalu langsung melahap makanan dipiringnya. Dia lapar. Aku masih dengan sabar mendinginkan makananku, sambil melamun menatap jalan atau melihat Pak Daman -penjual nasi goreng- membuat pesanan orang lain. Sampai tiba-tiba kulihat tangan tanpa jam dipergelangannya mengaduk makanan dipiringku, kulihat kearahnya dia tengah memegang sendok di tangan kanan untuk disuapkan ke mulutnya. Ya, dia memasang jam dipergelangan tangan kanan.
"kalo makan sama kamu, tanganku dua-duanya sibuk" ucapnya lirih.
Aku jarang menghabiskan makan, entah aku tak tahu. kubiarkan saja makanannya bersisa, bukan suatu tabiat baik namun susah kuubah. Dan jika sedang makan dengannya, maka dia akan mengambil piringku menghabiskannya tanpa bersisa dengan tatapan menghakimi kearahku.
"Selain sibuk, kalo makan sama kamu aku bisa jadi gendut. kan aku lagi diet" protesnya.
Suatu hari, kami berdebat. sambil duduk berhadapan, dengan tangan masing-masing memegang secangkir kopi. membicarakan masalah dunia sampai masa kecil, terus tanpa jeda.

Suatu hari, aku mengoceh tiada henti. badmood. dibelakang jok motornya tentang hujan yang tak berhenti sedari pagi. aku benci hujan, kurasa dia pun tahu.

Suatu hari, sepulang kuliah. Dia menarik kakiku dan merebahkan kepalanya disana. Aku masih asyik membaca buku yang baru kubeli, tak kuhiraukan kelakuannya. Mungkin dia kesal, sampai dia mengambil kaca mataku, untuk dipakainya. Menarik buku ditanganku dan bergaya seolah dia yang akan meneruskan bacaanku.
"kamu suka banget sih baca buku? gampang banget buang uang ke Gramed hmpf. "
"selama masih pake uangku tanpa minta ke kamu, nggak ada masalah kan?"
"iyadeh iyaaaaaa. awas kado ulang tahun minta buku" 
Suatu hari, aku mengantarnya pergi. Tanpa mengelus rambut atau sekedar ucapan perpisahan. Tanpa kalimat "hati-hati selamat sampai tujuan" dariku, tanpa perkataan diantara kami. Melihat punggungnya menjauh dari pagar stasiun dibarengi adzan subuh, tanpa berbalik kearahku, melambaikan tangan.

Suatu hari, kami tak saling bicara. Tak bertemu. Tak bertanya kabar. Kurasa kami tengah bertengkar.

Suatu hari, dia datang. Dengan raut mukah penuh bahagia. Senyum memperlihatkan gigi rapi. Lalu segera menghampiriku, menggandeng tanganku. Semenit kemudian, mulutnya sibuk menyuarakan apa yang terjadi hari itu membaginya padaku menceritakan sedetailnya. 
"parfumnya baru? kok baunya beda?"
"iya naaaad, yang kemarin habiiiiis."
"aku suka yang kemarin, baunya kamu. yang ini bukan." suaraku sok sedih.
"iyaa nyaah iyaa besok adek ganti nyaaah" lalu dia nyengir,
Suatu hari, aku dibuatnya amat khawatir saat dia menelepon pukul 1 dini hari dan bilang kalau dia sakit. Aku bingung, takut, semuanya bercampur tapi tak bisa berbuat apa-apa. Karena tak mungkin aku keluar sendirian, dan lebih tidak mungkin aku menemuinya sekarang. Maka yang bisa kulakukan hanya menungguinya lewat telepon, mendengarnya mengeluh sakit, hingga terdengar napasnya memberat. Dia tertidur akhirnya. Semoga sakitmu lekas hilang.

Suatu hari, dia asing. Berada dihadapku tanpa bertindak semestinya. Tanpa senyum, dan tatapan intens darinya. Dia bukan laki-laki yang kukenal selama ini. Dia hilang.

Suatu hari, dia benar-benar pergi. 

Suatu hari, kami duduk bersama. Menanyakan kabar maing-masing, berusaha tersenyum setulus mungkin. Lalu aku berpamitan, saling menjabat tangan.

Suatu hari, aku melihatnya melihatku dengan tatapan terluka. Akupun sama. 

Suatu hari, aku duduk sendiri menghabiskan malam. Dengan eskrim didepanku di sebuah minimarket yang kebetulan beroperasi 24jam, tempat favoritku sambil memandang jalanan ramai. Kepalaku sibuk, memikirkan banyak hal. Sedikit marah, karena ingatan-ingatan tentangnya mendadak muncul bergantian menyeruak bertabrakan seolah ingin menunjukkan diri untuk dikenang. Aku diam. Isi kepalaku terlalu penuh, mataku panas. Jangan! Jangan menangis nadya. Tolong, jangan!

Kemudian aku menegakkan badan, membenarkan posisi duduk, melahap habis eskrim didepanku. Dan, hal terkahir yang kuingat di kepalaku adalah ucapannya,
"Kamu suka nulis? kalo gitu suatu hari tulis tentang aku ya." kemudian dia nyengir.

Kamu lihat? aku sudah menulisnya. 

Selasa, 27 Oktober 2015

2 Tahun, Tak Ada Artinya.

Akhir 2013, bertemu seseorang yang mendekati perfect menurutku namun tak menghasilkan sebuah ikatan apalagi komitmen. Meski sering jalan, makan, antar-jemput, dan banyak hal lain yang kita lakukan bersama. Semua itu tidak membuat ‘kami’ ingin bersama. Ah, mungkin aku ingin dia tidak. Baiklah. Aku termasuk jenis yang santai dalam hal begitu. Tapi jauh disana, ada sebagian besar dariku entah berapa banyak ingin bersamanya. Ceileee
Lalu kupikir itu hanya ego, lama-kelamaan bukannya pudar perasaan nyaman dan takut ditinggalkan semakin parah. Ini tidak baik, tentu. Hubungan kami tidak sehat. Aku sadari itu sejak lama namun dengan alasan pembenaran diri sendiri aku terbiasa akhirnya.

Pertengahan 2014, tiba-tiba dia bersama perempuan lain. Aku? Haha. Tak usah ditanya. Hancur-sehancurnya. Aku mungkin mengalami yang disebut patah hati. Fase dimana amat membenci keramaian, orang-orang sekitar, lebih suka sendirian, dan banyak hal yang membuatku jadi ‘aneh’. Seiring waktu aku menerima keadaan , bahwa mungkin dia memang bukan untukku. Ikhlas, meski amat perlahan. Aku mulai membaik, aku dan dia pun masih sering tidak sengaja bertemu dan amarah yang dulu berkobar halaaah perlahan padam. Aku menerimanya dengan “si mbak pacar baru”.

Akhir 2014, tiba-tiba aku dan si laki-laki bertemu kami ngobrol (masih dengan cara yang sama) menceritakan banyak hal tentangku, tentangnya, kuliah, hubungan percintaan blablabla. Rasanya tidak ada yang berubah diantara kami. Sama sekali. Aneh
Kita makan, ditengah makan yang enak (di tempat favorit) dia bertanya suatu hal yang menurutku terlambat. Ya. dia bertanya tentang perasaanku terhadapnya. Setelah setahun dan dia punya pacar- setelah patah hatiku - usahaku menata hati - bahkan sedang menyukai orang lain, dia baru bertanya. Kujawab terang-terangan bahwa aku sudah tidak punya perasaan apa-apa. Dengan penjelasan panjang lebar, dia hanya mendengarkan tanpa menyela pun menjawab. Malam itu, dengan pertanyaan itu berakhir dengan kami menyelesaikan makan. Tanpa membahas apa-apa. Waktu berjalan, kami masih bertemu beberapa kali dengan kondisi dia masih punya pacar, namun apa yang kami lakukan tidak berubah, sedikitpun.

Pertengahan mendekati akhir 2015, dia berpisah. Being single hehehe. Tapi, anehnya aku pun taka da keinginan untuk bersamanya. Entah, mungkin aku hanya terbiasa melakukan banyak hal bersama tanpa ingin menjalin hubungan. Dia pun mungkin sama. Namun, tiba-tiba dia menanyakan tentang perasaanku lagi kali ini berindikasi untuk menjalin sebuah komitmen.Whaaat??!!
Dan kembali aku menjawab tidak. Seperti biasa dia tidak menyanggah pun menjawab. Dibiarkan saja ini berlalu dianggap tidak pernah ada pertanyaan apapun. Aku pun sama. Aku terlalu lama bersamanya, aku hafal banyak hal tentangnya. Mengetahui juga memahaminya sebesar memahami diriku sendiri. Dan memang itu kenyataannya jika pun dia ingin tahu.

Kemudian aku merenungi semuanya, tentang 2 tahun yang begitu absurd dan tak menghasilkan apa-apa. 2 tahun dengan orang yang sama tanpa pernah ada ikatan apa-apa. 2 tahun yang menurutku bukan waktu yang sebentar, 2 tahun aku tetap sendiri meski sempat beberapa orang singgah namun tetap kembali padanya, 2 tahun yang seharusnya tidak berkahir seperti ini. Kadang aku berpikir bagaimana jika aku dulu tidak bertemu dengannya apakah akan terjadi hal semacam ini? Apakah semua hal yang kualami akan tetap berjalan seperti ini?


2 tahun, dan aku tetap memandangnya dengan cara yang sama.


Homesick!

Dibandingkan dengan remaja seumuranku diluar sana yang sering update status “homesick” mungkin aku 1 diantara 10 yang kurang ber”homesick” ria. 
Aku kadang berpikir haruskah aku ngikutin orang-orang karena nyatanya hal semacam itu tak berlaku buatku.
Tapi….di tahun ini, ya saat aku berkepala dua kini.
That homesick thing terus meneurs muncul, hampir sepersekian persen dalam seminggu aku rindu teramat rindu, rumah dan segala isinya. Padahal kondisi untuk pulang sangat amat susah selain kuliah banyak acara ekstern kampus yang menghambat jalan pulang.
Aku berpikir dan terus berpikir apa sebenernya yang mendasari homesick ini tiba-tiba menyerang, dan sedikit menyebalkan. karena benar-benar mudah menghancurkan mood padahal aku tipe perempuan moody nomor wahid.
Lama.
Sekali.
Sampai aku sadar.
Seringkali aku berkata “obat terbaik untuk menyembuhkan ialah kembali pulang”
Dan itu selalu benar. That works for me. Dan mungkin secara tidak sadar banyak hal yang membuatku “patah” 
Sampai-sampai aku (((selalu))) rindu pulang. 

Selasa, 11 Agustus 2015

Being 20,

Berusia 20, tak pernah terpikir akan benar-benar mencapai angka ini. Sebagian orang mungkin berpendapat apalah arti sebuah angka, tapi bagiku 20 tahun usiaku teramat sangat bermakna.
Tak pernah terpikir bahwa isi kepalaku akan berakhir di angka 20. Melewati banyak hal, menemukan banyak orang, mencari banyak kejelasan, meninggalkan banyak luka, mengembangkan banyak senyuman.
Mereka berkata usia 20 adalah titik kedewasaan, dimana sebagian akan berusaha mencari jati diri, mengadaptasi lingkungan, mencari cinta.
Tapi tidak bagiku, sebelum berusia 20 aku melewati semuanya. Dan kurasa aku menyerah. Bukan, bukan berarti aku berhenti. Namun aku hanya mengubah langkah.
Ya, angka 20 yang berarti titik balik untukku.

Mulai menerima dan tak lagi meminta, mengartikan tak lagi bertanya, mengerti dari dua sisi tak hanya searah. Sungguh, semuanya begitu sempurna. Tepat dan tak terlambat. Hal-hal yang seharusnya membuatku terluka bahkan berubah menjadi sebuah kebahagiaan nyata yang kini kitahu berarti banyak. Berjalan pada alurnya.

Kamis, 01 Januari 2015

Di mataku kamu mati, 
dan ku hanya sedang menangisi
kematianmu.

Tertanda,
aku.