Kali ini ada nama yang ingin kutulis tapi mendadak
kuurungkan niat karena lagi-lagi dia berhenti duduk disebelahku. Dia berhenti
menjadi pendengar tawa, pembaca cerita, penikmat minuman-minuman yang kubuat. Dia
memilih berhenti bukan untuk sebuah jeda tapi mungkin untuk waktu yang lama. Waktu
yang lama dan bisa saja diartikan untuk selamanya. Mungkin selamanya dia kan
benar-benar pergi melepaskan genggaman tangannya dariku yang semakin hari
menjadi lebih dingin, memilih jalan lain bukan lagi berbelok arah menujuku atau
mungkin saja subuh nanti dia tiba-tiba muncul di teras rumahku entahlah. Tapi biar
saja akan kuingat bahwa dia telah menuliskan pesan singkat tanda untuk pergi
dalam waktu yang lama.
Lalu aku harus apa?
Haruskah memungut lagi sisa jejak langkahnya agar tetap bisa
kuingat? Atau haruskah kupasangi plakat arah menujuku agar dia tidak lupa kemana
perempuan yang dia bilang paling sempurna itu berada, atau masihkah aku harus
duduk disini di tempat yang sama seperti pintanya malam itu?
Haruskah semua itu kulakukan untuk laki-laki yang memilih
pergi?
Sebentar. Aku butuh ruang, butuh waktu untuk berpikir
tentang semuanya. Tentang kamu. Ya, tentu saja. Kamu satu tapi rupamu banyak
belum lagi tingkah dan ucapanmu yang jika saja kutulis bisa menghabiskan semua
kertas putih yang mungkin saja sebentar lagi tidak berbahan dasar kayu, tapi
sintetis. Karena kayu makin berkurang jumlahnya. Sebentar, beri aku libur
singkat untuk tidak menjadikanmu pusat pikiranku. Aku ingin membagi dengan yang
lain soal semuanya, di kepalaku terlalu banyak kamu. Itu tidak adil, persis
caramu mengajariku untuk tidak terlampau keras pada diri sendiri untuk tidak
terlalu banyak berpikir. Baiklah, jadi sebentar saja. Barangkali sesudah hujan
sore ini akan ada jawabannya.
Hujan belum reda saat aku hendak memutuskan langkah apa
untuk lanjutan kisah aku dan kamu. Tapi angin membawa kabar lain, ditengah
jalan kamu memilih duduk berlama-lama di sebuah tempat yang kamu sebut indah
dan mengeja sebuah nama disana. Dan kabarnya itu bukan namaku. Kuharap nama
yang kamu ukir itu segera mengering, semoga siapapun yang menghentikan
langkahmu itu tidak benar-benar bisa membuatmu berhenti. Tapi bagaimana jika
malah sebaliknya?
Bagaimana jika semua yang terjadi selama ini adalah
pertanda. Bagaimana jika perempuan itu yang memang kamu ingin selama ini? Sosok
yang tidak kamu temui dariku? Bagian yang kosong dari ku? Bagaimana jika dia
mengertimu lebih dariku? Bagaimana jika dia bisa menjadi sempurna yang kamu
mau? Bagaimana jika akhirnya kamu memilih dadanya tempat berlabuh dan bukan
aku?
Bagaimana?
Tapi sebentar, untung saja aku belum menentukan arah. Untung
saja plakat yang ingin kubangun untukmu masih sekedar rencana, jadi kamu tidak
akan menemukanku karena langkahmu teramat jauh dan kian tak tersentuh. Bukan,
kurasa kamu bukan lagi milikku. Entah sejak kapan, bukankah begitu?
Baiklah. Aku masih berencana menulis sesuatu untuk kamu,
untuk seorang laki-laki yang pernah kumiliki utuh, atau baiknya aku menulis
untuk perempuan mu saja? Perempuan yang menurut kabar berwajah sendu dan tenang
seperti air. Kalau boleh kutanya satu hal, sejak kapan kamu menyukai air? Setauku
kamu menyukai langit atau gunung sesuatu yang diciptakan tinggi dan agung. Ah entahlah,
kamu bukan lagi laki-laki yang kukenal dulu atau kamu yang berhenti menjadi
laki-laki yang ingin kukenali?