Minggu, 25 September 2016

Laki-laki yang Ingin Kutulis (II)

Kali ini ada nama yang ingin kutulis tapi mendadak kuurungkan niat karena lagi-lagi dia berhenti duduk disebelahku. Dia berhenti menjadi pendengar tawa, pembaca cerita, penikmat minuman-minuman yang kubuat. Dia memilih berhenti bukan untuk sebuah jeda tapi mungkin untuk waktu yang lama. Waktu yang lama dan bisa saja diartikan untuk selamanya. Mungkin selamanya dia kan benar-benar pergi melepaskan genggaman tangannya dariku yang semakin hari menjadi lebih dingin, memilih jalan lain bukan lagi berbelok arah menujuku atau mungkin saja subuh nanti dia tiba-tiba muncul di teras rumahku entahlah. Tapi biar saja akan kuingat bahwa dia telah menuliskan pesan singkat tanda untuk pergi dalam waktu yang lama.
Lalu aku harus apa?
Haruskah memungut lagi sisa jejak langkahnya agar tetap bisa kuingat? Atau haruskah kupasangi plakat arah menujuku agar dia tidak lupa kemana perempuan yang dia bilang paling sempurna itu berada, atau masihkah aku harus duduk disini di tempat yang sama seperti pintanya malam itu?
Haruskah semua itu kulakukan untuk laki-laki yang memilih pergi?
Sebentar. Aku butuh ruang, butuh waktu untuk berpikir tentang semuanya. Tentang kamu. Ya, tentu saja. Kamu satu tapi rupamu banyak belum lagi tingkah dan ucapanmu yang jika saja kutulis bisa menghabiskan semua kertas putih yang mungkin saja sebentar lagi tidak berbahan dasar kayu, tapi sintetis. Karena kayu makin berkurang jumlahnya. Sebentar, beri aku libur singkat untuk tidak menjadikanmu pusat pikiranku. Aku ingin membagi dengan yang lain soal semuanya, di kepalaku terlalu banyak kamu. Itu tidak adil, persis caramu mengajariku untuk tidak terlampau keras pada diri sendiri untuk tidak terlalu banyak berpikir. Baiklah, jadi sebentar saja. Barangkali sesudah hujan sore ini akan ada jawabannya.
Hujan belum reda saat aku hendak memutuskan langkah apa untuk lanjutan kisah aku dan kamu. Tapi angin membawa kabar lain, ditengah jalan kamu memilih duduk berlama-lama di sebuah tempat yang kamu sebut indah dan mengeja sebuah nama disana. Dan kabarnya itu bukan namaku. Kuharap nama yang kamu ukir itu segera mengering, semoga siapapun yang menghentikan langkahmu itu tidak benar-benar bisa membuatmu berhenti. Tapi bagaimana jika malah sebaliknya?
Bagaimana jika semua yang terjadi selama ini adalah pertanda. Bagaimana jika perempuan itu yang memang kamu ingin selama ini? Sosok yang tidak kamu temui dariku? Bagian yang kosong dari ku? Bagaimana jika dia mengertimu lebih dariku? Bagaimana jika dia bisa menjadi sempurna yang kamu mau? Bagaimana jika akhirnya kamu memilih dadanya tempat berlabuh dan bukan aku?
Bagaimana?
Tapi sebentar, untung saja aku belum menentukan arah. Untung saja plakat yang ingin kubangun untukmu masih sekedar rencana, jadi kamu tidak akan menemukanku karena langkahmu teramat jauh dan kian tak tersentuh. Bukan, kurasa kamu bukan lagi milikku. Entah sejak kapan, bukankah begitu?

Baiklah. Aku masih berencana menulis sesuatu untuk kamu, untuk seorang laki-laki yang pernah kumiliki utuh, atau baiknya aku menulis untuk perempuan mu saja? Perempuan yang menurut kabar berwajah sendu dan tenang seperti air. Kalau boleh kutanya satu hal, sejak kapan kamu menyukai air? Setauku kamu menyukai langit atau gunung sesuatu yang diciptakan tinggi dan agung. Ah entahlah, kamu bukan lagi laki-laki yang kukenal dulu atau kamu yang berhenti menjadi laki-laki yang ingin kukenali?