Rabu, 15 Oktober 2014

Asthera | Moszkha

            Perempuan itu berjalan dengan langkah pasti entah kemana, meski jalanan mulai lengang, dia tak peduli. Sesekali dia menengok ke langit memeriksa apakah bintang dan bulan masih menemaninya, kadang pula berhenti di tempat lampu kota menerangi dan tersenyum. Sepertinya dia menyukai malam. Tak ada yang tahu dia darimana, apa tujuannya, bahkan namanya pun tak tertera. Aku hanya sering melihatnya dari sudut tempatku berdiam diri. Aku menikmatinya.

***
            
Hari itu tak jauh beda dari hari kemarin, kepalaku sudah overload butuh kafein. Kulirik jam ditangan kananku, pukul 10 malam aku menghela nafas mungkin tempat itu sudah ramai, batinku. Sebut saja tempat ini “Joglo” kopi disinilah yang menurutku paling pas, aku melirik tempat favoritku dua kursi dan satu meja disisi jendela yang langsung terarah kejalan. Satu jam dan aku pulang, seperti biasa. Ah, aku menunggu perempuan itu sebentar lagi dia pasti muncul dari sudut jalan. Tapi tidak terlihat kehadirannya. Aku mendengar pintu terbuka dan betapa kagetnya aku melihat ‘dia’ disana. Perempuan itu memasuki tempat ini dengan pandangannya yang menilai, dia mungkin kebingungan mencari tempat duduk karena mendadak Joglo ramai pengunjung. Dia pergi ke kasir dan kulihat dia berbicara pada Bang Jo, apa yang mereka bicarakan, entahlah. Tiba-tiba…
“Kursi ini kosong bukan, aku boleh duduk? Tempat ini ramai dan sepertinya ‘ini’ available pemilik tempat ini berkata kau sedang tidak menunggu seseorang.” sapanya. Suaranya nyaring seperti lonceng, namun lugas tak ada keraguan, dia pun melihatku dengan tatapan yang terbilang terlalu serius untuk ukuran perempuan yang kutebak masih berusia diawal 20-an.
Jadi itu yang dia tanyakan pada Bang Jo tadi, gumamku.
            Dengan dress motif abstrak berwarna gelap, dipadu jaket parka berwarna kopi, dan sneakers, perempuan ini memiliki style yang unik. Dia tidak memandang ke arahku padahal kita satu meja, sedari tadi dia melihat keluar jendela menatap langit yang tentu saja tertutup oleh pinus didepan Joglo.
“Kalau mau lihat langit harusnya kamu di rooftop saja bukan disini.” Aku berusaha membuka pembicaraan.
“Ramai. Darisini kelihatan kok, langit terlalu luas untuk disembunyikan hanya oleh sebuah pinus seperti ini.”
“Siapa namamu?”
“Moszkha. Kau?”
Nama yang indah “Asthera. Boleh tau apa yang kau lakukan disini Moszkha?”
“Hmm, mencari kesenangan.”
“Hah? Mencari kesenangan dimalam hari, sendirian?”
“Tentu. Apa kau tak lihat ciptaan Tuhan yang Maha indah ini? Hmm malam maksudku. Apa itu bukan sesuatu yang pantas untuk dinikmati sebagai sebuah kesenangan? Kau sendiri apa yang kau lakukan disini?”
“Rutinitas. Aku sering kesini hampir setiap hari sepulang kuliah.”
“Rutinitas? Jadi kau melakukan hal yang sama dan diulang untuk kesekian kali? Apa hidupmu se-monoton itu?”
Ini kali pertama kita bertemu dan berbicara dia sudah memberikan judgement padaku. Siapa kamu sebenarnya Moszkha?.
“Haha. Begitulah kau boleh menilainya demikian. Lebih tepatnya anggap ini keteraturan.”
“Apa kau bahagia?”
“Pertanyaan apa itu, bagaimana kebahagiaan seseorang dapat diukur? Aku hanya melakukan apa yang harus kulakukan.”
“Yang tadi kau sebutkan apa berlaku setiap hari? Apa itu tidak menyakiti diri sendiri namanya menurutku, setidaknya setiap yang hidup perlu untuk menyicipi alam atau apapun itu untuk membahagiakan dirinya, bukankah begitu?”
“Benarkah? Apa harus begitu? Kukira apa yang kulakukan adalah yang terbaik, aku sudah menatanya dengan sangat baik kurasa tergantung dari sudut pandang mana dan tujuan itu sendiri. Apa tujuanmu?”
“Tujuanku adalah hidup bahagia. Bukankah itu tujuan akhirnya, dengan apa yang kau lakukan bukankah kebahagiaan yang ingin kau dapat? Tapi benar juga, cara kita menyikapilah yang berbeda entah dengan cara apa bahagia itu didapat nantinya.”
“Ke-ba-ha-gia-an. Hmm.. entahlah mungkin itu juga yang kucari aku tak pernah memikirkannya, aku hanya berusaha yang terbaik. Ini yang tertanam dihidupku semenjak aku kecil. Dan aku nyaman melakukannya.”
“Tertanam dihidupmu?” Dia tersenyum sakartis. Bukan tertanam namanya, kau hanya takut keluar dari zona nyamanmu saat ini. Dengar, kita hanya hidup sekali ketahuilah ini duniamu, kesalahanmu, pembenaranmu, dan perayaanmu sendiri. Kau yang menentukan. Sepertinya, kau lebih dewasa dariku tapi kurasa aku lebih bisa memaknai hidup daripadamu. Uhm, maaf bila aku lancang.”
            Aku terdiam tak menemukan jawaban, tak ada kalimat bantahan untuk ucapannya. Apa benar aku tidak bisa memaknai hidup. Hening diantara kami, dari tingkahnya dia seolah tak mengatakan apa-apa. Sambil mengubah posisinya menghadap lagi ke jendela, dia menyesap kopinya. Deg.. jantungku seolah berhenti, oh Tuhan rasanya aku mau melihat pemandangan didepanku ini setiap hari.
“Ngomong-ngomong Asthera, aku harus pergi.” Ucapnya tiba-tiba.
“Baiklah, hmm apa kita bisa mengobrol lagi?”
“Lagi? Semoga saja, kita lihat nanti. Berdoa saja esok tempai ini ramai, dan kau masih tidak menunggu seseorang supaya aku bisa duduk dikursi ini lagi. Selamat tinggal.”
            Dan perempuan itu pergi, berlalu seperti angin. Kulirik jam tanganku, pukul 1 dini hari. Untuk pertama kalinya aku mengubah rutinistasku. Asthera, apa yang terjadi denganmu?.

***

Alarmku berbunyi, seperti biasa berkutat dengan rutinitasku, lagi. Setelah malam itu aku sering bertemu Moszkha, mengobrol hingga larut. Menunggunya hingga berpamitan pergi, melihatnya berlalu. Perempuan itu, terlalu banyak kejutan yang kutemui pemikirannya terlalu realistis. Dia mengajariku tentang memandang dunia dengan cara yang berbeda dengan pemikirannya. Tuhan, kurasa aku jatuh cinta. Meski kehadirannya masih misterius meski begitu aku sangat berharap dia tak cepat hilang. Entah sudah untuk malam yang ke-berapa kalinya aku menghabiskan waktu dengannya, mendengarnya menyuarakan isi hati dan pikirannya, atau sekedar mendengarnya membicarakan entah apa tentang mimpi-mimpinya, aku hanya terlalu menyukai suaranya didekatku.
“Apa mimpimu?” tanyanya.
“Sukses, mendapat pekerjaan yang layak, membuat orang tuaku bangga. Kau ?”
“Hanya itu? bukankah aku sudah bilang aku ingin membuat hidupku bahagia”
“Itu anganmu, tapi secara realita apa yang kau mau dapat? Jangan terlalu naïf Moszkha…”
“Naif? Haha mungkin kau orang yang kesekian puluh berkata begitu. Aku hanya tidak mau menyesal ketika terlalu mematuhi aturan, bukan berarti pula aku penganut sistem let’s break the rules loh ya. Aku hanya tidak ingin memenjarakan diriku sendiri dengan menjadi salah satu budak sistem.”
“Moszkha?”
“Ya, Asthera?”
“Kurasa aku menyukaimu.”
“Menyukaiku? Apa yang menarik dariku, aku membosankan Asthera lihatlah hidupku saja terlihat berantakan bagi sebagian orang.”
“Kau sempurna, apa aku belum pernah mengatakannya aku sangat mengagumi otakmu itu, pemikiranmu yang seperti buku yang terbuka itu kurasa telah membuatku jatuh.”
“Apa kau sedang merayuku kita baru kenal bagaimana aku membiarkanmu masuk kedalam duniaku?”
“Kau tidak harus terburu-buru, sungguh aku bisa menunggu.”
“Jangan berbicara perkara menunggu seseorang, kau tidak akan sanggup menungguku aku belum berpikir untuk berhenti untuk alasan apapun sekalipun hanya sekedar singgah, belum Asthera.”
“Jadi, kau menolakku.”
            Lalu hening diantara kami. Perempuan didepanku ini sibuk mengaduk kopinya, sementara aku masih sibuk dengan pikiranku sendiri. Aku bingung kenapa aku mengatakannya, ini bukan diriku. Aku bukanlah orang yang mudah jatuh cinta, tapi entah mengapa aku dengan cepat dan tanpa persiapan kurasa menyatakan cintaku padanya. Dan dia menolakku. Apa yang harus kulakukan? . ada yang bergejolak disini. Mungkin aku harus melupakannya, ya. aku tidak ingin membiarkan ini berlarut-larut dan tenggelam merusak semuanya. Setelah kupikir sepertinya akupun tak cocok dengan perempuan ini, dia terlalu bebas dalam berpikir terlalu tak terjangkau dan mungkin benar aku tak bisa menghandlenya dengan baik.
Dan dia pergi. Esoknya kami tak bertemu lagi. Esoknya pun sama dia seolah lenyap. Tak ada yang tahu dia kemana, akupun begitu. Mungkin karena kejadian malam itu dia enggan bertemu denganku. Ternyata dia terlalu pengecut batinku, namun entah mengapa ada yang hilang rasanya, aku mulai terbiasa olehnya. Tidak, ini tidak bisa diteruskan. Hidupku yang sudah sistematis tak akan kubiarkan berantakan oleh hal seperti ini.
Persetan dengan perempuan itu, entah mengapa semakin lama aku memikirkannya muncul penyesalan bahkan amarah. Aku terlalu berharap padanya. Tergoda dengan keinginannya, mimpinya, dengan pandangannya mengenai hidup bahwa kebahagian adalah dasar, nyatanya di hilang setelah berhari-hari membuatku tak bisa tidur, membiarkanku berangan-angan bahkan terbesit untuk mengubah tatanan hidupku.

***

Suatu malam ketika aku sedang terfokus pada laptop didepanku, ada seseorang yang duduk di kursi tempat biasa perempuan itu duduk. Deg, jantungku berdegup ada perasaan aneh yang mengatakan aku berharap dia datang. Kuberanikan menengadah dan kulihat Bang Jo mendudukinya.
“Aku tidak ingin mengganggu apa yang kau lakukan ada titipan buatmu.” Lalu Bang Jo menyerahkan sebuah amplop. “Perempuan itu, tadi datang.”
            Sesampainya dirumah, aku membersihkan diri dan bersiap tidur. Tapi, aku ingat surat dari Moszkha ragu untuk kusentuh. Ah, daripada penasaran segera kubuka  amplop tersebut dan membacanya, tulisannya sungguh rapi.

Dear Asthera,
            Hai apa kabar? Mungkin kamu bingung tentang semua ini, terlebih surat ini. Pertama aku mau pamitan hehe aku akan pergi jauh, jangan cari aku tak ada gunanya. Asthera, maaf memperlakukanmu begini, maaf membuatmu bingung. Ah baiklah, Asthera apa masih ingat pertama kali kita bertemu? Kurasa itu bukan yang pertama. Secara teori tentu itu yang pertama namun tahukah kau, aku sering melihatmu disana, Joglo. Aku memeperhatikanmu, melihatmu dari kejauhan. Dan dihari itu kuputuskan untuk masuk, aku ingin mengenalmu. Dan ternyata kita bisa mengobrol dengan baik.
            Hingga hari itu, hari dimana kamu menyatakan isi hatimu. Sungguh aku bingung Asthera, aku tak tahu harus apa, munafik sekali aku kala itu. seolah tak menginginkanmu padahal jauh sebelum kita bicara, aku terlebih dulu mengharapmu. Namun tak kusangka kamu menyatakannya. Aku tahu keteraturan hidupmu, dan aku tak ingin merusaknya. Aku terlalu tak pantas dan kita teramat berbeda. Berbahagialah, sungguh. Bahagiakan dirimu, cintai dirimu sendiri Asthera. Perempuan ini terlalu menyayangimu, kurasa. Hingga aku putuskan untuk melepasmu membiarkanmu bahagia dengan caramu, aku takut menjadi beban bagimu. Terimakasih untuk waktumu, utuk ungkapan perasaanmu, untuk mencintaiku.
            Sekarang, kamu tahu kan bagaimana isi hatiku? Aku akan mengenangmu tentu saja. Meski aku pergi jauh aku kan menjagamu dikepalaku, berharap yang terbaik untukmu. Karena aku sungguh pernah berharap menjadi yang kamu sebut, perempuanku.
                                                                                                                                                        
Love, Moszkha.

***
           
Dan surat itu berakhir disana. Hatiku hancur seketika mengetahui kenyataan itu. enyataan bahwa aku bahkan pernah mengutuknya, dan sedang berusaha membuangnya jauh dari pikiranku. Sementara dia, sedang berkelahi dengan pikirannya sendiri. Tuhan, aku menyakitinya. Aku hanya mampu menyebut namanya lirih. Mencarinya lagi didalam kepalaku. Perempuan ini ternyata jauh sebelum aku melihatnya bahkan dia terlebih dahulu melihatku dan kemana aku selama ini? Namun terlambat, Moszkha, kau telah pergi. Tentu aku tak bisa mengharapmu kembali. Terimakasih untuk mimpimu yang menjadi semangatku, terimakasih telah membuka idealismeku. Moszkha tentu saja kau akan kukenang. Biarkan aku tahu, apa itu bahagia, dan ingatkan aku untuk membahagiakan diriku seperti yang kau minta. Dan kepadamu perempuanku, bisakah kau tetap dikepalaku? Menetaplah disana sebagai ingatan, setidaknya.


***