Perempuan
itu berjalan dengan langkah pasti entah kemana, meski jalanan mulai lengang,
dia tak peduli. Sesekali dia menengok ke langit memeriksa apakah bintang dan
bulan masih menemaninya, kadang pula berhenti di tempat lampu kota menerangi
dan tersenyum. Sepertinya dia menyukai malam. Tak ada yang tahu dia darimana,
apa tujuannya, bahkan namanya pun tak tertera. Aku hanya sering melihatnya dari
sudut tempatku berdiam diri. Aku menikmatinya.
***
Hari
itu tak jauh beda dari hari kemarin, kepalaku sudah overload butuh kafein. Kulirik jam ditangan kananku, pukul 10 malam
aku menghela nafas mungkin tempat itu sudah ramai, batinku. Sebut saja tempat
ini “Joglo” kopi disinilah yang menurutku paling pas, aku melirik tempat
favoritku dua kursi dan satu meja disisi jendela yang langsung terarah kejalan.
Satu jam dan aku pulang, seperti biasa. Ah, aku menunggu perempuan itu sebentar
lagi dia pasti muncul dari sudut jalan. Tapi tidak terlihat kehadirannya. Aku
mendengar pintu terbuka dan betapa kagetnya aku melihat ‘dia’ disana. Perempuan
itu memasuki tempat ini dengan pandangannya yang menilai, dia mungkin
kebingungan mencari tempat duduk karena mendadak Joglo ramai pengunjung. Dia
pergi ke kasir dan kulihat dia berbicara pada Bang Jo, apa yang mereka bicarakan, entahlah.
Tiba-tiba…
“Kursi ini kosong bukan, aku boleh duduk? Tempat ini
ramai dan sepertinya ‘ini’ available pemilik
tempat ini berkata kau sedang tidak menunggu seseorang.” sapanya. Suaranya
nyaring seperti lonceng, namun lugas tak ada keraguan, dia pun melihatku dengan
tatapan yang terbilang terlalu serius untuk ukuran perempuan yang kutebak masih
berusia diawal 20-an.
Jadi itu yang
dia tanyakan pada Bang Jo tadi,
gumamku.
Dengan
dress motif abstrak berwarna gelap,
dipadu jaket parka berwarna kopi, dan
sneakers, perempuan ini memiliki style yang unik. Dia tidak memandang ke
arahku padahal kita satu meja, sedari tadi dia melihat keluar jendela menatap
langit yang tentu saja tertutup oleh pinus didepan Joglo.
“Kalau mau lihat langit harusnya kamu di rooftop saja bukan disini.” Aku berusaha
membuka pembicaraan.
“Ramai. Darisini kelihatan kok, langit terlalu luas
untuk disembunyikan hanya oleh sebuah pinus seperti ini.”
“Siapa namamu?”
“Moszkha. Kau?”
Nama yang indah “Asthera. Boleh tau apa yang kau lakukan disini
Moszkha?”
“Hmm, mencari kesenangan.”
“Hah? Mencari kesenangan dimalam hari, sendirian?”
“Tentu. Apa kau tak lihat ciptaan Tuhan yang Maha
indah ini? Hmm malam maksudku. Apa itu bukan sesuatu yang pantas untuk
dinikmati sebagai sebuah kesenangan? Kau sendiri apa yang kau lakukan disini?”
“Rutinitas. Aku sering kesini hampir setiap hari
sepulang kuliah.”
“Rutinitas? Jadi kau melakukan hal yang sama dan
diulang untuk kesekian kali? Apa hidupmu se-monoton itu?”
Ini kali pertama kita bertemu dan berbicara dia
sudah memberikan judgement padaku. Siapa kamu sebenarnya Moszkha?.
“Haha. Begitulah kau boleh menilainya demikian.
Lebih tepatnya anggap ini keteraturan.”
“Apa kau bahagia?”
“Pertanyaan apa itu, bagaimana kebahagiaan seseorang
dapat diukur? Aku hanya melakukan apa yang harus kulakukan.”
“Yang tadi kau sebutkan apa berlaku setiap hari? Apa
itu tidak menyakiti diri sendiri namanya menurutku, setidaknya setiap yang
hidup perlu untuk menyicipi alam atau apapun itu untuk membahagiakan dirinya,
bukankah begitu?”
“Benarkah? Apa harus begitu? Kukira apa yang
kulakukan adalah yang terbaik, aku sudah menatanya dengan sangat baik kurasa
tergantung dari sudut pandang mana dan tujuan itu sendiri. Apa tujuanmu?”
“Tujuanku adalah hidup bahagia. Bukankah itu tujuan
akhirnya, dengan apa yang kau lakukan bukankah kebahagiaan yang ingin kau
dapat? Tapi benar juga, cara kita menyikapilah yang berbeda entah dengan cara
apa bahagia itu didapat nantinya.”
“Ke-ba-ha-gia-an. Hmm.. entahlah mungkin itu juga
yang kucari aku tak pernah memikirkannya, aku hanya berusaha yang terbaik. Ini
yang tertanam dihidupku semenjak aku kecil. Dan aku nyaman melakukannya.”
“Tertanam dihidupmu?” Dia tersenyum sakartis. Bukan tertanam namanya, kau hanya takut
keluar dari zona nyamanmu saat ini. Dengar, kita hanya hidup sekali ketahuilah
ini duniamu, kesalahanmu, pembenaranmu, dan perayaanmu sendiri. Kau yang
menentukan. Sepertinya, kau lebih dewasa dariku tapi kurasa aku lebih bisa
memaknai hidup daripadamu. Uhm, maaf bila aku lancang.”
Aku
terdiam tak menemukan jawaban, tak ada kalimat bantahan untuk ucapannya. Apa
benar aku tidak bisa memaknai hidup. Hening diantara kami, dari tingkahnya dia
seolah tak mengatakan apa-apa. Sambil mengubah posisinya menghadap lagi ke
jendela, dia menyesap kopinya. Deg..
jantungku seolah berhenti, oh Tuhan rasanya aku mau melihat pemandangan
didepanku ini setiap hari.
“Ngomong-ngomong Asthera, aku harus pergi.” Ucapnya
tiba-tiba.
“Baiklah, hmm apa kita bisa mengobrol lagi?”
“Lagi? Semoga saja, kita lihat nanti. Berdoa saja
esok tempai ini ramai, dan kau masih tidak menunggu seseorang supaya aku bisa
duduk dikursi ini lagi. Selamat tinggal.”
Dan
perempuan itu pergi, berlalu seperti angin. Kulirik jam tanganku, pukul 1 dini
hari. Untuk pertama kalinya aku mengubah rutinistasku. Asthera, apa yang terjadi denganmu?.
***
Alarmku berbunyi, seperti biasa berkutat dengan rutinitasku,
lagi. Setelah malam itu aku sering bertemu Moszkha, mengobrol hingga larut. Menunggunya
hingga berpamitan pergi, melihatnya berlalu. Perempuan itu, terlalu banyak
kejutan yang kutemui pemikirannya terlalu realistis. Dia mengajariku tentang
memandang dunia dengan cara yang berbeda dengan pemikirannya. Tuhan, kurasa aku
jatuh cinta. Meski kehadirannya masih misterius meski begitu aku sangat
berharap dia tak cepat hilang. Entah sudah untuk malam yang ke-berapa kalinya
aku menghabiskan waktu dengannya, mendengarnya menyuarakan isi hati dan
pikirannya, atau sekedar mendengarnya membicarakan entah apa tentang
mimpi-mimpinya, aku hanya terlalu menyukai suaranya didekatku.
“Apa mimpimu?” tanyanya.
“Sukses, mendapat pekerjaan yang layak, membuat
orang tuaku bangga. Kau ?”
“Hanya itu? bukankah aku sudah bilang aku ingin
membuat hidupku bahagia”
“Itu anganmu, tapi secara realita apa yang kau mau
dapat? Jangan terlalu naïf Moszkha…”
“Naif? Haha mungkin kau orang yang kesekian puluh
berkata begitu. Aku hanya tidak mau
menyesal ketika terlalu mematuhi aturan, bukan berarti pula aku penganut sistem
let’s break the rules loh ya. Aku hanya
tidak ingin memenjarakan diriku sendiri dengan menjadi salah satu budak sistem.”
“Moszkha?”
“Ya, Asthera?”
“Kurasa aku menyukaimu.”
“Menyukaiku? Apa yang menarik dariku, aku
membosankan Asthera lihatlah hidupku saja terlihat berantakan bagi sebagian orang.”
“Kau sempurna, apa aku belum pernah mengatakannya
aku sangat mengagumi otakmu itu, pemikiranmu yang seperti buku yang terbuka itu
kurasa telah membuatku jatuh.”
“Apa kau sedang merayuku kita baru kenal bagaimana
aku membiarkanmu masuk kedalam duniaku?”
“Kau tidak harus terburu-buru, sungguh aku bisa
menunggu.”
“Jangan berbicara perkara menunggu seseorang, kau
tidak akan sanggup menungguku aku belum berpikir untuk berhenti untuk alasan
apapun sekalipun hanya sekedar singgah, belum Asthera.”
“Jadi, kau menolakku.”
Lalu
hening diantara kami. Perempuan didepanku ini sibuk mengaduk kopinya, sementara
aku masih sibuk dengan pikiranku sendiri. Aku bingung kenapa aku mengatakannya,
ini bukan diriku. Aku bukanlah orang yang mudah jatuh cinta, tapi entah mengapa
aku dengan cepat dan tanpa persiapan kurasa menyatakan cintaku padanya. Dan dia
menolakku. Apa yang harus kulakukan? . ada yang bergejolak disini. Mungkin aku
harus melupakannya, ya. aku tidak ingin membiarkan ini berlarut-larut dan
tenggelam merusak semuanya. Setelah kupikir sepertinya akupun tak cocok dengan
perempuan ini, dia terlalu bebas dalam berpikir terlalu tak terjangkau dan
mungkin benar aku tak bisa menghandlenya dengan baik.
Dan dia pergi. Esoknya kami tak bertemu lagi.
Esoknya pun sama dia seolah lenyap. Tak ada yang tahu dia kemana, akupun
begitu. Mungkin karena kejadian malam itu dia enggan bertemu denganku. Ternyata
dia terlalu pengecut batinku, namun entah mengapa ada yang hilang rasanya, aku
mulai terbiasa olehnya. Tidak, ini tidak bisa diteruskan. Hidupku yang sudah
sistematis tak akan kubiarkan berantakan oleh hal seperti ini.
Persetan dengan perempuan itu, entah mengapa semakin
lama aku memikirkannya muncul penyesalan bahkan amarah. Aku terlalu berharap
padanya. Tergoda dengan keinginannya, mimpinya, dengan pandangannya mengenai
hidup bahwa kebahagian adalah dasar, nyatanya di hilang setelah berhari-hari
membuatku tak bisa tidur, membiarkanku berangan-angan bahkan terbesit untuk
mengubah tatanan hidupku.
***
Suatu malam ketika aku sedang terfokus pada laptop
didepanku, ada seseorang yang duduk di kursi tempat biasa perempuan itu duduk. Deg, jantungku berdegup ada perasaan
aneh yang mengatakan aku berharap dia datang. Kuberanikan menengadah dan
kulihat Bang Jo mendudukinya.
“Aku tidak ingin mengganggu apa yang kau lakukan ada
titipan buatmu.” Lalu Bang Jo menyerahkan sebuah amplop. “Perempuan itu, tadi
datang.”
Sesampainya
dirumah, aku membersihkan diri dan bersiap tidur. Tapi, aku ingat surat dari
Moszkha ragu untuk kusentuh. Ah, daripada
penasaran segera kubuka amplop tersebut
dan membacanya, tulisannya sungguh rapi.
Dear Asthera,
Hai
apa kabar? Mungkin kamu bingung tentang semua ini, terlebih surat ini. Pertama
aku mau pamitan hehe aku akan pergi jauh, jangan cari aku tak ada gunanya.
Asthera, maaf memperlakukanmu begini, maaf membuatmu bingung. Ah baiklah,
Asthera apa masih ingat pertama kali kita bertemu? Kurasa itu bukan yang
pertama. Secara teori tentu itu yang pertama namun tahukah kau, aku sering
melihatmu disana, Joglo. Aku memeperhatikanmu, melihatmu dari kejauhan. Dan
dihari itu kuputuskan untuk masuk, aku ingin mengenalmu. Dan ternyata kita bisa
mengobrol dengan baik.
Hingga
hari itu, hari dimana kamu menyatakan isi hatimu. Sungguh aku bingung Asthera,
aku tak tahu harus apa, munafik sekali aku kala itu. seolah tak menginginkanmu
padahal jauh sebelum kita bicara, aku terlebih dulu mengharapmu. Namun tak
kusangka kamu menyatakannya. Aku tahu keteraturan hidupmu, dan aku tak ingin
merusaknya. Aku terlalu tak pantas dan kita teramat berbeda. Berbahagialah, sungguh.
Bahagiakan dirimu, cintai dirimu sendiri Asthera. Perempuan ini terlalu
menyayangimu, kurasa. Hingga aku putuskan untuk melepasmu membiarkanmu bahagia
dengan caramu, aku takut menjadi beban bagimu. Terimakasih untuk waktumu, utuk
ungkapan perasaanmu, untuk mencintaiku.
Sekarang,
kamu tahu kan bagaimana isi hatiku? Aku akan mengenangmu tentu saja. Meski aku
pergi jauh aku kan menjagamu dikepalaku, berharap yang terbaik untukmu. Karena
aku sungguh pernah berharap menjadi yang kamu sebut, perempuanku.
Love,
Moszkha.
***
Dan
surat itu berakhir disana. Hatiku hancur seketika mengetahui kenyataan itu.
enyataan bahwa aku bahkan pernah mengutuknya, dan sedang berusaha membuangnya
jauh dari pikiranku. Sementara dia, sedang berkelahi dengan pikirannya sendiri.
Tuhan, aku menyakitinya. Aku hanya mampu menyebut namanya lirih. Mencarinya
lagi didalam kepalaku. Perempuan ini ternyata jauh sebelum aku melihatnya
bahkan dia terlebih dahulu melihatku dan kemana aku selama ini? Namun
terlambat, Moszkha, kau telah pergi. Tentu aku tak bisa mengharapmu kembali.
Terimakasih untuk mimpimu yang menjadi semangatku, terimakasih telah membuka
idealismeku. Moszkha tentu saja kau akan kukenang. Biarkan aku tahu, apa itu
bahagia, dan ingatkan aku untuk membahagiakan diriku seperti yang kau minta.
Dan kepadamu perempuanku, bisakah kau tetap dikepalaku? Menetaplah disana
sebagai ingatan, setidaknya.
***