Suatu hari, dia datang duduk dikursi kosong sebelahku. Kita sama-sama mengantri untuk sebuah tiket kereta api. Dia bertanya tujuanku, untuk basa-basi. Aku menjawab pun untuk basa-basi.
Aku? berbasa-basi?
Suatu hari, dia duduk disebelahku melihat menimbang dengan matanya tentang apa yang kulakukan.
lalu dia membolak-balikkan kertas berserakan disebelahku. alisnya bertaut dahinya berkerut seolah berpikir. kuhentikan tanganku menulis dan tersenyum kearahnya lalu mengambil kertas itu.
"kamu nggak akan ngerti isinya, mau bantuin? mending rapihin deh."
"apa bedanya metode pembuatan emulsi oil in water sama water in oil dua-duanya kan air sama minyak. aneh." dia tidak benar-benar menanyakannya lebih kepada bertanya untuk dan oleh dirinya sendiri.
Diraihnya kertas-kertas itu, ditumpuk menjadi satu meski aku tahu benar urutannya akan salah. Dia tak akan mengerti. Lalu dia mulai menggangguku lagi, dengan mengubah bantal didekatku, mengganti playlist-ku, melepas ikat rambutku. Saat ku toleh, dia akan nyengir. Wajah anak-anak favoritku yang selalu muncul saat aku memarahinya. Selalu.
Suatu hari, saat kami sedang berjalan di supermarket dia tiba-tiba menghentikan langkah.
"Nad, kurusan yah? ih kok badannya aja yang diubah sekali-kali tingginya dong dinaikin dikit biar keliatan anak kuliahan, hahaha!"
Suatu hari, aku sibuk menunggu nasi goreng didepanku dingin. Dia hanya melihat sejenak, lalu langsung melahap makanan dipiringnya. Dia lapar. Aku masih dengan sabar mendinginkan makananku, sambil melamun menatap jalan atau melihat Pak Daman -penjual nasi goreng- membuat pesanan orang lain. Sampai tiba-tiba kulihat tangan tanpa jam dipergelangannya mengaduk makanan dipiringku, kulihat kearahnya dia tengah memegang sendok di tangan kanan untuk disuapkan ke mulutnya. Ya, dia memasang jam dipergelangan tangan kanan.
"kalo makan sama kamu, tanganku dua-duanya sibuk" ucapnya lirih.
Aku jarang menghabiskan makan, entah aku tak tahu. kubiarkan saja makanannya bersisa, bukan suatu tabiat baik namun susah kuubah. Dan jika sedang makan dengannya, maka dia akan mengambil piringku menghabiskannya tanpa bersisa dengan tatapan menghakimi kearahku.
"Selain sibuk, kalo makan sama kamu aku bisa jadi gendut. kan aku lagi diet" protesnya.
Suatu hari, kami berdebat. sambil duduk berhadapan, dengan tangan masing-masing memegang secangkir kopi. membicarakan masalah dunia sampai masa kecil, terus tanpa jeda.
Suatu hari, aku mengoceh tiada henti. badmood. dibelakang jok motornya tentang hujan yang tak berhenti sedari pagi. aku benci hujan, kurasa dia pun tahu.
Suatu hari, sepulang kuliah. Dia menarik kakiku dan merebahkan kepalanya disana. Aku masih asyik membaca buku yang baru kubeli, tak kuhiraukan kelakuannya. Mungkin dia kesal, sampai dia mengambil kaca mataku, untuk dipakainya. Menarik buku ditanganku dan bergaya seolah dia yang akan meneruskan bacaanku.
"kamu suka banget sih baca buku? gampang banget buang uang ke Gramed hmpf. "
"selama masih pake uangku tanpa minta ke kamu, nggak ada masalah kan?"
"iyadeh iyaaaaaa. awas kado ulang tahun minta buku"
Suatu hari, aku mengantarnya pergi. Tanpa mengelus rambut atau sekedar ucapan perpisahan. Tanpa kalimat "hati-hati selamat sampai tujuan" dariku, tanpa perkataan diantara kami. Melihat punggungnya menjauh dari pagar stasiun dibarengi adzan subuh, tanpa berbalik kearahku, melambaikan tangan.
Suatu hari, kami tak saling bicara. Tak bertemu. Tak bertanya kabar. Kurasa kami tengah bertengkar.
Suatu hari, dia datang. Dengan raut mukah penuh bahagia. Senyum memperlihatkan gigi rapi. Lalu segera menghampiriku, menggandeng tanganku. Semenit kemudian, mulutnya sibuk menyuarakan apa yang terjadi hari itu membaginya padaku menceritakan sedetailnya.
"parfumnya baru? kok baunya beda?"
"iya naaaad, yang kemarin habiiiiis."
"aku suka yang kemarin, baunya kamu. yang ini bukan." suaraku sok sedih.
"iyaa nyaah iyaa besok adek ganti nyaaah" lalu dia nyengir,
Suatu hari, aku dibuatnya amat khawatir saat dia menelepon pukul 1 dini hari dan bilang kalau dia sakit. Aku bingung, takut, semuanya bercampur tapi tak bisa berbuat apa-apa. Karena tak mungkin aku keluar sendirian, dan lebih tidak mungkin aku menemuinya sekarang. Maka yang bisa kulakukan hanya menungguinya lewat telepon, mendengarnya mengeluh sakit, hingga terdengar napasnya memberat. Dia tertidur akhirnya. Semoga sakitmu lekas hilang.
Suatu hari, dia asing. Berada dihadapku tanpa bertindak semestinya. Tanpa senyum, dan tatapan intens darinya. Dia bukan laki-laki yang kukenal selama ini. Dia hilang.
Suatu hari, dia benar-benar pergi.
Suatu hari, kami duduk bersama. Menanyakan kabar maing-masing, berusaha tersenyum setulus mungkin. Lalu aku berpamitan, saling menjabat tangan.
Suatu hari, aku melihatnya melihatku dengan tatapan terluka. Akupun sama.
Suatu hari, aku duduk sendiri menghabiskan malam. Dengan eskrim didepanku di sebuah minimarket yang kebetulan beroperasi 24jam, tempat favoritku sambil memandang jalanan ramai. Kepalaku sibuk, memikirkan banyak hal. Sedikit marah, karena ingatan-ingatan tentangnya mendadak muncul bergantian menyeruak bertabrakan seolah ingin menunjukkan diri untuk dikenang. Aku diam. Isi kepalaku terlalu penuh, mataku panas. Jangan! Jangan menangis nadya. Tolong, jangan!
Kemudian aku menegakkan badan, membenarkan posisi duduk, melahap habis eskrim didepanku. Dan, hal terkahir yang kuingat di kepalaku adalah ucapannya,
"Kamu suka nulis? kalo gitu suatu hari tulis tentang aku ya." kemudian dia nyengir.
Kamu lihat? aku sudah menulisnya.