Rabu, 15 November 2017

Perjalanan kereta

Aku suka perjalanan kereta, setiap stasiun pemberhentiannya, setiap penumpang yang mustahil akan sama. Rasa haru saat tiba ke tempat tujuan, atau kadang debar menanti suatu kedatangan. Aku suka perjalanan kereta, dengan orang asing mana yang kadang duduk di sebelah. Ada hari di mana aku enggan berkata, ada pula hari aku suka bicara. Tapi seringnya ku kunci rapat bibir ini sambil menatap kosong ke jendela. Kosong. Sekosong gelas-gelas kertas bekas kopi atau teh di depanku. Sekosong hari yang terlewat begitu saja. Kadang kala dalam tiap perjalanan kereta aku suka merenung. Tentang apa saja. Hal-hal yang mestinya dibicarakan agar tegak lurus tanpa kelok, nyatanya berakhir diam dalam kepala. Nyatanya, tidak ada tempat untuk membaginya atau lawan untuk bicara. Hal-hal yang harusnya secara dewasa dilontarkan tanpa celah, nyatanya satu sisi merasa diam adalah jawaban terbaik tanpa meminta atau diminta penjelasan. Satu bagian dari ego mengharap semuanya sesuai mau diri, tapi hidup tidak begitu.

5 menit untuk pemberhentian stasiun pusat, sekitar 2-3 menit untuk stasiun kecil tanpa penumpang. Jendela di dalam kereta mungkin sengaja di desain berbingkai besar, agar penumpangnya bisa melihat keluar. Bahwa ada banyak hal yang bisa dilihat jika saja mau, tidak terpaku akan yang ada dihapanmu. Kadang mataku menatap nanar keluar jendela dengan pikiran melayang, membayangkan senyum yang tidak lagi bisa kulihat atau kepura-puraan yang selalu ditunjukkan. Lelah memang, tapi mau dikata apa? Beberapa hal baiknya cukup di mengerti tanpa tanda tanya, tanpa hal yang dirisaukan atau hal yang kelewat dikuatirkan. Beberapa hal harus dibiarkan mengalir seperti sisa tetesan air hujan di jendela kereta. Ada, tanpa tiada.

Sebelum sampai di titik ini aku pernah merasakan yang lebih berat. Pernah dihantam tatapan tajam atau ucapan tak enak di dengar-yang sepertinya tidak akan pernah hilang. Pernah juga aku sibuk merapikan pecahan kaca yang entah siapa melakukannya dengan tanganku sendiri hanya untuk dapat melangkah. Lain kisah aku mengubur asa dan suara agar sekitar ini menjadi hening. Sebelum sampai di tempat ini, aku sudah pernah.

Kamis, 12 Oktober 2017

Lara.

Bagaimana sudah sempat membayangkan rasanya jadi aku?
Sempat terlintas? Begini, saranku tidak usahlah.

Jangan dibayangkan rasanya memiliki kepala sekeras milikku, atau jangan lah ingin memahami kacaunya hati dan hari yang dijalani.

Dia akan baik-baik saja, selalu. Setelah apa yang terlewati begitulah kiranya mantra yang terucap setiap saat dadanya sesak. Itulah kiranya yang dibayangkan bahwa hujan akan reda meninggalkan tanah basah diluar rumah.

Esok hari dia akan sama, memijarkan lagi nyala api di kepalanya agar meriah atau lain waktu akan menjadi sejuk bagi seorang yang duduk disebelahnya kala terik. Dia akan sama.

Menghidupkan lentera pada malam yang tidak pernah menginginkannya namanya.

Rabu, 13 September 2017

Teh panas, Kopi hitam dan Angkringan.

Mereka bilang saat mulai dewasa akan mengubah segalanya. Entah sikap, sudut pandang, cara menanggapi suatu masalah termasuk lingkaran sosial. Dan saat sedang sendiri atau tidak dalam menjalani aktivitas apapun hal-hal diatas memang terpikirkan. Tapi, saat bertemu teman atau orang untuk membahas sesuatu segala yang diatas rasanya biasa saja, masih sama tidak ada yang berubah. Malam ini pun sama, bertemu salah satu teman hanya karena sebuah status yang lewat menunjukkan kondisiku sedang “nganggur” dia mengajak bertemu di angkringan. Tempat favorit kami, untuk bicara. Tidak ada yang spesial dari pertemuan kami pun tidak ada yang berubah selama 3jam kami bersama. Dia masih sama, salah satu teman yang menyenangkan. Tapi satu hal yang akhirnya aku sadari bahwa, jalan hidupnya tak lagi sama. Tujuan ataupun aktivitasnya berubah. Banyak hal terlewat entah karena ego yang pernah ada diantara kami atau memang luput karena waktu.
“gimana hdupmu nud?”
“baik.”
“haha. Kamu ngga pernah benar-benar baik dengan menjawab baik.”
Aku hanya senyum. Sebagai persetujuan atas pernyataannya. 
Aku malas menjelaskan apapun atau bagaimana aku berhasil melewati banyak hal. Tetap diam, meski orang datang dan pergi sesukanya tidak seperti aku; beberapa tahun belakangan yang “agak berlebihan”. Aku paham, bahwa memang begini kiranya hidup. Tidak memaksa atau menuntut, tapi cukup dijalani.
Teman didepanku ini bercerita banyak soal hobinya, rencana kuliahnya, skripsinya, tentang pilihannya sendiri dan tidak dekat dengan perempuan manapun, atau tentang lagu  yang baru-baru ini muncul dari band indie favorit kami. Hal-hal yan sebenarnya sepele tapi sengaja kami ceritakan agar tidak ada yang hilang, atau terlupakan.
Teh tawar didepanku makin dingin, kopinya pun hampir habis seiring dengan malam semakin dingin. Sebentar lagi kami akan berpamitan entah kapan akan bertemu lagi. “skala proritas orang berbeda” demikian dia menjelaskan. Satu hal yang pasti kapanpun nanti kita bertemu lagi rasanya akan sama, karena begitulah aku dan mungkin dia berusaha menjaganya. Hal-hal sederhana yang berarti banyak. Baginya menemuiku sesekali adalah keharusan karena aku dan lingkarannya tak lagi bisa bersama, sementara bagiku dia sama seperti angkringan; salah satu bagian menyenangkan di tempat ini.

Sabtu, 09 September 2017

Berpartnerlah dengan Orang yang Tepat.

Sebagai yang tidak ingin keluar dari zona nyaman, memilih partner untuk bekerja bersama memang tidak akan jauh dari orang dalam jangkauan. Meski pepatah mengatakan “Great things doesn’t come from comfort zone” tapi kurasa tidak untukku, atau belum. Jadilah untuk satu urusan paling penting dalam perkuliahan aku memilih untuk berpartner dengan teman sendiri. Teman yang sudah kukenal dan tahu sejak diawal tahun kuliah. Teman yang sudah kuhafal nama dan nomor induk mahasiswanya. Untuk apa? Untuk kewarasanku. Kurasa.

Aku adalah jenis orang yang tergolong complicated dalam segala sisi. Dan tentu akan jadi masalah jika bersama dengan orang yang tidak biasa kuhadapi. Sementara dengannya, aku terbiasa. Lonjakan emosi atau perubahan sikap makin lama makin kupahami. Dia, laki-laki yang satu diantara beberapa kuputuskan untuk menjadi teman baik. Mengapa? Karena dia mendengar. Rasa-rasanya wajar toh perempuan memang suka didengar. Dan dia kupercayai. Dalam segala hal, maka dari itu aku memilih berpartner dengannya untuk sebuah skripsi.

Dengan segala drama yang ada, dan terlewati entah sebagian atau hanya beberapa sejauh ini dia masih yang terbaik yang pernah ada. Aku percaya, partner yang baik akan mengubahmu menjadi yang lebih baik seiring waktu. Dan dia melakukannya. Dia mengajari banyak hal, dengan caranya. Untuk sabar, tenang, menjadi dewasa dan kuat tentu saja. Dia membuatku mengerti bahwa memang beberapa hal tidak harus seperti yang kuharapkan, sesempurna rancanganku atau sebaik sebuah tulisan. Tidak. Dia membuatku memahami bahwa hidup kadang memang harus menerima dan menunggu.

Banyak teman-teman lain yang berkelompok demi menyelesaikan skripsi mereka, dan mungkin masalah yang mereka hadapi lebih kompleks. Tapi hal terberat yang harus kami hadapi adalah, dia laki-laki dan aku perempuan. Dengan dua kepala yang kadang tidak bisa sepaham, sudut pandang yang berseberangan, dan kadang aku terlewat demanding terhadapnya. Kadang, aku mengharapnya mengerti apa yang aku pikirkan tanpa bicara. Padahal semuanya akan selesai dengan dibicarakan atau dibiarkan saja. Harusnya aku tidak membawanya ikut, agar kami tidak berselisih paham. Tetaplah, jadi teman dan partner yang baik. 

Selasa, 05 September 2017

Waktu.

Apa yang paling berharga? Waktu. Tidak bisa disangkal. Bagi siapa saja untuk apa saja. Waktu mengajari bagi setiap orang yang menunggu pelajaran paling berharga, untuk sabar dan mengertinya. Sementara untuk orang yang sedang melakukan sesuatu waktu adalah hal yang bisa dihargai dengan menikmati tiap menit yang ada. Sejalan dengan sebuah donat yang hampir habis. Hanya satu donat yang akan dihabiskan dua kepala. Waktu yang tidak bisa diulang dan hanya bisa dikenang. Langkah, senyum dan kata-kata yang telah terucap. Semua akan tersimpan dalam kepala, dan sebentar lagi semua ini akan berakhir. Seiring gigitan terakhir donat didepanku. Waktuku habis.

Jumat, 11 Agustus 2017

Skripsi Attack!

Well, masih dengan skripsi. Mungkin benar, semua akan mengalami ini. Drama skripsi. Sebelum memulai dan benar-benar terjebak dalam lingkaran skripsi ini dosen pembimbingku berkata “Skrpsi itu dik, ada macam-macam masalahnya. Entah di depan atau dibelakang. Dari luar atau dari dalam pelakunya.” Sekarang, aku mengiyakan dengan lirih.

Tidak pernah terbayang skripsi akan sebegininya. Entah aku yang teramat berlebihan atau memang, begini ya begini. Penasaran sebenarnya bagaimana orang-orang diluar menghadapi ini. Secara fisik aku baik-baik saja tapi rasanya ada yang salah dengan otakku. Sebagai seorang yang memang tidak menggunakan asas take it slow skripsi ini cukup menguras semuanya. Literally, semuanya. Tenaga, otak, dan waktu. Banyak yang harus dikorbankan dan banyak yang harus ditahan.

Drama pun, tidak benar-benar berhenti. Sengaja ingin kutulis masalah skripsi ini agar aku tidak lupa. Agar nanti diakhir saat semua terlewati ada yang bisa dibaca dan menghela napas-lega. Diawal sejak ditentukan mau di bagian laboratorium mana aku mengambil tema sudah dimulai permasalahan, entah dari tema, judul, subjek, dan tempat penelitian. Sampai semuanya sudah pun, masih berlanjut. Aku, harus berulang kali ganti judul-metode dan sebagainya. Belum lagi masalah birokrasi kampus, sampai pada masalah paling pelik dimana ada kemungkinan aku tidak bisa input skripsi pada sistem karena nilai. Tapi akhirnya semua terlewati, dengan drama. Dengan tangis yang tidak berhenti, doa yang kian panjang dan kejiawaan yang hampir saja goyah. Sekarang babak baru akan dimulai, penelitian ini akan benar-benar dilaksanakan. Aku, sedikit tenang. Alhamdulillah.

Segala diatas masih masalah antara aku dengan skripsi yang jelas benda ajaib. Belum lagi masalah antara aku dengan “partner disebelah”. Sebenarnya aku akan jadi beban tersendiri untuknya. Kami mengenal lama, yang jelas membuatku kadang kelewat nyaman untuk menumpahkan semuanya. Segala gelisah resah yang ada, atau apapun. Kadang aku lupa, dia manusia biasa, dia punya urusan lain, prioritas lain, hidupnya sendiri yang mungkin juga lebih berat. Aku lupa. Kadang aku terlalu menuntutnya. Kadang demi egoku, aku menjadi orang paling menyebalkan dan tentu kondisi ini tidak baik. Entah untuknya, ataupun aku. Pernah di satu titik kami tidak saling bicara, mendiamkan masing-masing entah untuk apa. Tapi itu satu-satunya hal terbaik yang bisa dilakukan untuk saling sadar, yang akan berakhir dengan “apa pertemanan ini mau diakhiri saja?”. Lalu aku sadar, aku butuh dia. Aku tidak ingin kehilangan temanku, dan partner terbaik sejauh ini yang pernah ada. Naive? Always.

Skripsi dan segala masalah dibelakangnya pasti kian bertambah seiring semakin maju langkah yang kuambil. Jika diantara aku dan dia, atau aku dan partner disebelah tidak terjadi apa-apa maka pihak luar lah yang akan menghadang. Tapi, aku harus siap. Tiap orang  memiliki badainya masing-masing. Dan akan memiliki caranya untuk menghadapi entah itu lari, bertahan, atau hanyut. Semua akan ada masanya, skripsi adalah salah satu dari sekian fase pendewasaan untukku.


Jumat, 03 Maret 2017

Beginning.

Februari 2017.
Perjalanan Situbondo-Jember kurang lebih 2jam. Sehabis subuh akan sampai pagi saat anak-anak sekolah memenuhi jalan. Sengaja agar tidak ada macet atau halangan lain. Dingin memang, apalagi sendirian mengendarai motor. Yap, motor. Setelah pamit dengan "mbah" di tempat KKN saat itu, aku memasang headset memutar lagu Banda Neira - Sampai jadi Debu dalam single mode. Kalau saja ibuku tahu anak kecilnya ini akan berkendara sendirian mungkin sudah habis ehe. Tujuanku hari itu menemui dosen untuk konsultasi skripsi. Wajar, masuk semester akhir aku harus memulai sebelum semua teman beramai-ramai mendatangi dosen. Tidak apa, dicoba dulu mau itu ada hasilnya atau tidak, batinku selama dijalan.

Fakultas Farmasi, Universitas Jember.
Aku mendatangi beliau. Tersenyum ramah, kami mulai bicara. Atau aku mulai bicara. Aku tidak datang dengan tangan kosong. Beliau pun menyambut dengan baik. Pembicaraan makin dalam, mulai ada titik terang sekian tema ditentukan diberikan untuk kupilih dan pertimbangkan. Termasuk dengan siapa aku akan melakukan “proyek” ini. Sebagai golongan yang enggan untuk keluar dari zona nyaman. Pilihan tentu tidak jauh dari lingkaranku. Dan satu temanku, akhirnya kupilih dan kuiyakan. Kami sepakat untuk bersama. Dan memulai semuanya dengan tujuan Desember kita lulus ya.